Senin, 12 November 2012

JAWABAN YANG KOKOH ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN HADI AL-MADKHALI SEPUTAR JUM’IYYAH DAN MUASSASAH


JAWABAN YANG KOKOH ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN HADI AL-MADKHALI SEPUTAR JUM’IYYAH DAN MUASSASAH

x3
JAWABAN YANG KOKOH
AL-’ALLAMAH AL-MUJAHID ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN HADI AL-MADKHALI
SEPUTAR  JUM’IYYAH DAN MUASSASAH
Pertanyaan:
Semoga Allah memberikan barakah kepada Anda. Sebagian saudara-saudara kita yang mereka adalah para Salafiyyin, enggan untuk ikut dalam kegiatan yang berkaitan dengan muassasah (yayasan). Alasan mereka adalah bahwa mayoritas jum’iyyah dan muassasah adalah hizbiyyah. Atau pada permulaannya muassasah itu masih Salafi, kemudian menyimpang. Oleh karena itu mereka berpendapat tidak perlunya untuk ikut serta dalam kegiatan yayasan. Dan mereka hanyalah mencukupkan diri dengan dakwah secara individual. Lalu apakah pendapat mereka ini benar?
Jawaban dari al-‘Allamah al-Walid an-Nashih al-Mujahid asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali Hafizhahullah Ta’ala:
Ta’awun (bahu membahu dan bekerjasama) adalah perkara yang dibutuhkan. Baik itu dalam tingkatan individu maupun tingkatan jama’i. yaitu sejumlah orang berada di satu wilayah sedangkan sekelompok orang yang lain di wilayah yang lain. Mereka semua berta’awun dalam mengatur urusan dakwah, daurah, pendidikan dan halaqah-halaqah (majelis-majelis ta’lim)  yang diatur sedemikian rupa. Maka yang demikian ini adalah suatu perkara yang dibutuhkan (dituntut).
Dan kami juga menghawatirkan keberadaan muassasah. Demi Allah kami menghawatirkan muassasah-muassasah yang didirikan itu. Karena sebagaimana disebutkan oleh saudara penanya atau disebutkan dalam pertanyaan, mayoritas yayasan dimulai sedemikian rupa (masih sebagai yayasan  yang berlatar belakang Salafi-ed), namun berakhir (dan berubah) menjadi hizby.
Hanya saja kalau tolok ukur dalam wala’ dan bara’ adalah ajaran As-Sunnah, maka tidak mengapa  ketika dibutuhkan untuk mendirikan yayasan-yayasan. Yaitu ketika dakwah di suatu negeri tidak bisa berjalan dan tidak pula bisa diatur kecuali dengan membuka markas-markas (pesantren-pesantren) dan yayasan. Maka tidak mengapa. Namun kami memperingatkan saudara-saudara Salafiyyin agar tidak menjadikan landasan tolok ukur wala’ dan bara’ pada jum’iyyah yang didirikan, pada yayasan, atau pada sekelompok orang itu. Hanyalah wala’ dan bara’ dilandaskan pada agama Allah – Tabaraka wa Ta’ala – dan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sehingga siapapun yang menyampaikan kebenaran wajib untuk diterima perkataannya meskipun ia tidak masuk dalam jajaran para pendiri (atau pengurus) jum’iyah atau yayasan. Wajib bagi mereka semua untuk menerima perkataannya karena ia adalah seorang yang memberikan nasihat bagi mereka dan masih saudara mereka. Ia juga seorang yang sangat sayang kepada mereka, seorang yang ingin meluruskan dan mengoreksi mereka. Dengan demikian tidak boleh mendahulukan perkataan siapa pun dari anggota jum’iyyah atau yayasan apabila perkataannya keliru. Untuk kemudian didahulukan di atas perkataan orang tadi. Tindakan mendahulukan perkataan ini tidak dilandasi  kecuali oleh keadaan orang yang didahulukan perkataannya adalah orang jum’iyyah (pengikuti, pengurus, atau pendiri jum’iyyah). Dan hendaklah tidak menolak kebenaran ketika kebenaran itu disampaikan oleh orang luar yayasan/jum’iyah. Atau disampaikan oleh orang yang tidak ikut serta bersama mereka dalam mendirikan yayasan/jum’iyyah. Perkataannya orang ini ditolak dengan alasan tidak mengetahui maslahat dan mafsadah  yang diwanti-wanti oleh jum’iyah.
Kebenaran hanya satu. Kebenaran wajib diterima dari siapapun yang mengucapkannya, baik ia orang yayasan atau luar yayasan. Apabila yayasan/jum’iyyah didirikan di atas prinsip seperti ini maka tidak mengapa.
Namun aku sangat menghawatirkan. Demi Allah aku sangat menghawatirkan yayasan dan jum’iyah. Berapa banyak yayasan didirikan pada permulaannya sebagaimana dinyatakan dan sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan sebagai yayasan Salafiyah. Namun setelah itu berubah menjadi yayasan hizbiyah.
Kita memohon keselamatan kepada Allah (dari terjerumus  dalam hizbiyyah).
Sumber:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=130859
File suara beliau diarsipkan di:  http://bit.ly/PZ8kZ1
Diterjemahkan oleh Tim Darussalaf.or.id
Muroja’ah : Al-Ustadz Muhammad Ar-Rifa’i (Alumni Yaman)

Jumat, 05 Oktober 2012

SIKAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP PENGUASA



oleh Ust. Luqman Jamal Lc.



Pendahuluan

Mendengar dan taat kepada penguasa yang mengurusi urusan kaum muslimin adalah salah satu pokok aqidah Salafiyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah). Hampir setiap buku yang membahas masalah aqidah menetapkan, menjelaskan dan menerangkan masalah ini. Hal ini tidak lain karena sangat penting dan agungnya kedudukan permasalahan ini. Sebab dengan mendengar dan taat kepada pemimpin/penguasa kaum muslimin, akan teraturlah kehidupan agama dan dunia sekaligus. Sedangkan kekurang-ajaran kepada mereka baik secara lisan maupun perbuatan akan merusak kehidupan beragama dan dunia. (Lihat Mu’amalatul Hukkam hal. 7)

Dan yang lebih memperkuat betapa pentingnya perhatian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap pokok aqidah ini dan menguatkan/menancapkannya di tengah-tengah dominasi kebodohan umat atau tersebarnya pemikiran-pemikiran yang menyeleweng dari manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah ini.

Tidak diragukan lagi bahwa di zaman kita hidup sekarang ini terkumpul dua masalah tersebut, yaitu dominasi kebodohan terhadap perkara ini dan tersebarnya pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Maka wajib bagi setiap ulama dan penuntut ilmu untuk berpegang teguh dengan perjanjian yang Allah telah ambil dari mereka dalam firman-Nya :

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ

"Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.". (QS. Ali ‘Imran : 187)

Maka hendaklah para ulama dan penuntut ilmu menjelaskan pokok aqidah ini kepada manusia dengan hanya mengharap balasan dari Allah, mengikhlaskan ama-amalnya hanya untuk-Nya. (Lihat Mu’amalatul Hukkam hal. 15)


Pertama

Siapakah Penguasa Itu ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah 1/115 berkata:

“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati para Imam (penguasa,–pent.) yang ada, telah dimaklumi (dikenal,–pent.), memiliki kekuasaan, yang dengan kekuasaan tersebut mereka mampu mengatur urusan manusia, bukan mentaati Imam yang tidak ada, tidak dikenal, tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuatan sama sekali”.

Syaikh ‘Abdus Salam bin Barjaz –rahimahullahu- mengomentari :

“Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama’ah Islam yang ada sekarang. Dimana mereka memilih salah seorang di antara mereka –secara rahasia- kemudian mereka membai’atnya dan mereka mewajibkan pada diri mereka dan pengikut-pengikutnya untuk mendengar dan taat padanya. Dari satu sisi, perbuatan ini barasal dari pemikiran Khawarij dan dari sisi yang lain meniru orang-orang kafir tatkala mereka mengadakan revolusi terhadap penguasa mereka. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata : “Maka barang siapa yang telah membai’at seorang amir (penguasa) tetapi tidak berdasarkan kesepakatan musyawarah kaum muslimin, maka bai’at orang yang membai’at dan orang yang dibai’at sama-sama tidak sah, bahkan dengan kata lain mereka telah menyerahkan diri untuk dibunuh”. (HR. Ahmad dan Al-Bukhary)”. (Lihat Mu’amalatul Hukkam hal. 39)

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy :

“Imam-Imam kaum muslimin adalah penguasa mereka dari sulthan yang paling besar, amir, hakim, sampai pada semua yang memiliki kekuasaan, baik kecil maupun besar”. (Lihat : Ar-Riyadh An-Nadhiroh hal. 49)

Al-Hasan Al-Bashry berkata : “Penguasa adalah mereka yang mengatur lima perkara kita : Sholat Jum’at, Sholat Jama’ah, Hari Raya ‘Ied, menjaga wilayah dari musuh (jihad) dan pelaksanaan undang-undang (Hukum-Hukum Syari’at) …”. (Lihat : Adab Al-Hasan Al-Bashry karya Ibnul Jauzy hal. 121).


Kedua

Kedudukan Penguasa

Penguasa mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia, hal ini sesuai dengan tingginya tugas dan besarnya tanggung jawab serta beratnya beban yang mereka pikul, menjaga agama dan mengatur dunia sebagai pengganti tugas kenabian.

Syari’at memberikan kedudukan yang mulia dan derajat yang tinggi ini sebagai hikmah dan maslahat yang harus direalisasikan sehingga tidak timbul kekacauan dan musibah-musibah yang menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan dan rusaknya agama dan dunia.

Berkata Ibnu Juma’ah menjelaskan hak-hak penguasa :

“Hak yang keempat : Hendaknya diketahui besarnya hak mereka dan kewajiban mengagungkan kedudukannya, maka dipergauli sesuai dengan kewajiban untuk memberikan penghormatan dan pemuliaan dan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa pengagungan. Oleh karena itu, para ulama dari Imam-Imam kaum muslimin sangat mengagungkan kehormatan mereka dan bersungguh-sungguh mendakwahi mereka disertai dengan sikap zuhud dan waro’ serta tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi penguasa …” (Lihat : Tahrirul Ahkam hal. 63)

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan penguasa dalam syari’at yang suci ini adalah sebagai berikut :

-          Allah menggandengkan ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya dengan ketaatan kepada penguasa sebagaimana dalam surah An-Nisa` ayat 59.

-          Allah mencegah dengan penguasa, yang kuat dari yang lemah, yang zholim dari yang dizholimi. Maka seandainya bukan karena Allah kemudian penguasa maka tidak akan tercipta keamanan dan hak-hak akan disia-siakan. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

السُّلْطُانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ مَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ

“Penguasa adalah naungan Alllah di muka bumi, maka barangsiapa yang memuliakannya maka Allah akan memuliakannya dan barangsiapa yang menghinakannya maka Allah akan menghinakannya pula”. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzy dan lain-lainnya. Lihat Ash-Shohihah 5/376)

-          Kaum muslimin sepakat bahwa tidak akan tegak urusan dunia dan agama kecuali dengan penguasa. Seandainya bukan karena Allah kemudian penguasa akan sia-sia agama dan rusaklah dunia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini”. (QS. Al-Baqarah : 251)

Berkata Al-Alusy dalam mentafsirkan ayat ini :

“Dalam ayat ini ada peringatan tentang keutamaan penguasa, sebab seandainya bukan karena penguasa tidak akan tenang urusan dunia. Oleh karena itu dikatakan : Agama dan Penguasa adalah saudara kembar, bila salah satunya tinggi maka menyebabkan yang lain juga tinggi. Karena sesungguhnya agama adalah dasar dan penguasa adalah penjaga dan sesuatu yang tidak ada dasarnya akan roboh, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya maka akan sia-sia”. (Lihat : Ruhul Ma’any 1/174)


Ketiga

Gelar-Gelar Imam (Penguasa)

Pemimpin-pemimpin negeri Islam digelari dengan beberapa gelar, dan tidak ada pertentangan pada gelar-gelar tersebut jika yang diberi gelar dengan gelar-gelar tersebut untuk menunaikan kewajibannya sesuai dengan gelar tersebut. Diantara gelar-gelar tersebut :

1. Khalifah. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi”. (QS. Shod : 26)

2. Waliyul Amri. Sebagaimana dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 59)

3. Al-Imam. Sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنِ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ ... الحديث

“Siapa yang membai’at Imam dan memberikan kepadanya telapak tangannya dan buah hatinya maka hendaklah dia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya …”.

4. As-Sulthon. Sebagaimana dalam hadits ‘Iyadh bin Ghanam, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَّةً ... الحديث

“Siapa yang ingin menasehati yang memiliki sulthon, maka janganlah dia menampakkannya terang-terangan … “. (HR. Ahmad 2/403-403 dan lain-lain)

5. Al-Malik. Sebagaimana dalam Firman Allah :

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكاً

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi Malik (rajamu)".”. (QS. Al-Baqarah : 247)

6. Amirul Mu‘minin. Dan yang pertama kali dipanggil dengan gelar ini adalah Umar bin Khaththab.
(Lihat : Fiqhu Siasah Asy-Syar’iyah hal. 126-127).


Inilah gelar-gelar yang syar’i, adapun selainnya dari gelar-gelar walaupun mengandung makna yang sama tapi tidak ada landasan syari’atnya seperti presiden dan perdana menteri dan bahkan kadang-kadang terlarang penggunaannya seperti khalifatullah, raja diraja dan lain-lainnya.
(Lihat : Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Abu Ya’la Al-Farraq hal. 27, Zadul Ma’ad 2/37 dan Mu’jam Al-Manahi Al-Lafzhiyah hal. 156)


Keempat

Beberapa Kaidah Yang Berhubungan Dengan Keimamahan (Kepemimpinan)

Kaidah Pertama

Wajibnya bai’at kepada Imam (penguasa) muslim yang berkuasa dan haram membatalkannya.

Bai’at adalah perjanjian antara Imam dan rakyat di atas ketaatan. Seakan-akan pembai’at mengadakan perjanjian dengan amirnya (pemimpinnya) untuk menyerahkan kepadanya kekuasaan pada urusan dirinya dan urusan kaum muslimin dan tidak menentangnya sedikitpun, mentaatinya pada apa-apa yang dia bebankan dengannya dari segala urusan dengan senang maupun benci. Mereka jika membai’at amir, mereka menetapkan perjanjiannya, mereka meletakkan tangannya pada tangan amrnya untuk menguatkan perjanjian, hal ini menyerupai perbuatan penjual dan pembeli maka dinamakanlah bai’at. (Lihat : Iklil Al-Karamah hal. 26 dengan perantaraan Fiqhus Siasah Asy-Syar’iyah hal.. 156)

Hal ini didasarkan pada beberapa hadits, diantaranya :

Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيِّةً

“Siapa yang mati dan tidak ada Imamnya, maka dia mati dalam keadaan mati jahilliyah”. (HR. Ahmad, Ath-Thobarony, Ibnu Hibban dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan)

Dan dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imarah 12/240, bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi peristiwa Al-Hurrah pada zaman Yazid bin Mu’awiyah. Lalu ‘Abdullah bin Muthi’ berkata :

“Berikan kepada Abu ‘Abdirrahman sebuah bantal”, maka beliau berkata : “Sesungguhnya saya tidak mau mendatangimu untuk duduk, saya datang untuk menyampaikan hadits yang saya dengar dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ, وَمَنْ مَاتَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa) dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak punya alasan (untuk membela diri) dan barang siapa yang mati sedangkan tidak ada di lehernya bai’at maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah”.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 8/232 berkata :

“Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan kepada Yazid, mereka menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah sebagai pemimpin mereka. Mereka –yang paling keras memusuhinya- tidak mengadukan (kepada keduanya) tentang Yazid selain perbuatan-perbauatannya yang menyimpang seperti minuman-minuman keras dan tidakannya yang mendatangi sebagain perkara kufur… memang sesungguhnya ia telah fasiq. Tetapi seorang yang fasiq tetap tidak boleh diberontak/dicopot kedudukannya, karena hanya akan timbul fitnah (kekacauan) dan pemberontakan, sebagaimana telah terjadi di Al-Hurrah ini.

Imam Al-Bukhary meriwayatkan dari Nafi', dia berkata : “Tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatan dari Yazid bin Mu'awiyah, Ibnu 'Umar mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian berkata : Sesungguhnya saya mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan ditancapkan bagi setiap pengkhianat (pemberontak) bendera pada Hari Kiamat”.

Sungguh kami telah membai’at orang ini (Yazid,–pent.) atas bai’at Allah dan Rasul-Nya, kemudian dia diperangi. Dan sesungguhnya saya tidak mengetahui seorangpun di antara kalian melepaskan ketaatan dan ikut dalam perkara ini (memberontak,–pent.) kecuali menjadi pemisah antara saya dengan dia”.

Kata Ibnu Hajar : “Dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada Imam yang sudah dibai’at dan melarang untuk keluar darinya (memberontak) walaupun jahat dalam menjalankan pemerintahannya, dan sesungguhnya tidaklah lepas ketaatan dengan kefasiqan”. (Lihat : Fathul Bary 13/23)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 8/233 :

“Tatkala penduduk Madinah kembali dari tempat Yazid, Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya pergi menemui Muhammad bin Al-Hanafiyah. Mereka menginginkan agar beliau memberi dukungan untuk mencopot Yazid dari kekhalifaannya, namun beliau menolaknya. Ibnu Muthi’ berkata : “Sesungguhnya Yazid minum khamar, meninggalkan sholat dan melanggar hukum-hukum Al-Kitab (Al-Qur`an)”, Ibnu Hanafiyah berkata kepada mereka : “Saya tidak melihat dari Yazid apa yang kalian sebutkan dan sungguh saya mendatanginya dan tinggal bersamanya maka saya melihat dia memelihara sholatnya, berusaha mengupayakan kebaikan, bertanya tentang fiqh dan komitmen terhadap sunnah”. Mereka berkata : “Sesungguhnya itu hanya sikap yang dibuat-buat untukmu”, Ibnu Hanafiyah menjawab : “Apa yang membuat dia takut dariku atau mengharap sampai menampakkan kepadaku kekhusyu’annya ?, apakah dia memperlihatkan kepada kalian atas apa yang kalian sebutkan yaitu minum khamar ?. Dan apabila dia memperlihatkan kepada kalian yang demikian maka sesungguhnya kalian adalah sekutunya. Dan jika dia tidak memperlihatkan maka kenapa kalian bersaksi dengan apa yang kalian tidak ketahui ?!”. Mereka berkata lagi : “Sesungguhnya itu di sisi kami adalah haq (benar-benar terjadi,–pent.) walaupun kami tidak melihatnya”. Ibnu Hanafiyah berkata : “Allah menolak yang demikian terhadap orang-orang yang bersaksi, Allah berfirman :

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan haq sedangkan mereka mengetuhuinya”. (QS. Az-Zukhruf : 86)

Dan saya tidak masuk dari urusan kalian sedikitpun”. Mereka berkata : “Barangkali engkau tidak suka jika orang lain selain dirimu menjadi penguasa, oleh karena itu kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami”. Beliau menjawab : “Saya tidak membolehkan peperangan yang didasari oleh apa yang kalian inginkan dariku tadi baik sebagai pengikut maupun yang diikuti”. Mereka berkata : “Bukankah engkau telah berperang bersama ayahmu yaitu 'Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ?”, beliau menjawab : “Datangkan kepadaku orang yang seperti ayahku, aku akan berperang bersamanya untuk membela suatu perkara yang telah dibela oleh ayahku”. Mereka berkata : “Perintahkanlah kedua anakmu yaitu Abul Qosim dan Al-Qosim untuk berperang bersama kami !”, beliau menjawab : “Kalau aku memerintahkan keduanya tentu akupun akan berperang”. Mereka berkata : “Berdirilah engkau di suatu tempat kemudian dari tempat itu anjurkanlah manusia agar berperang bersama kami !”, beliau menjawab : “Subhanallah, pantaskah aku memerintahkan manusia untuk mengamalkan sesuatu yang tidak saya amalkan dan tidak setujui ?, kalau begitu berarti saya tidak termasuk orang yang menasehati hamba-hamba Allah di jalan-Nya”. Mereka berkata : “Jika demikian kami akan membencimu”, beliau berkata : “Kalau begitu saya akan menyuruh manusia untuk bertaqwa kepada Allah, agar mereka tidak mencari keridhoan makhluk dengan melakukan sesuatu yang mendatangkan murka Allah”.

Imam Al-Hasan bin Ali Al-Barbahary berkata : “Barang siapa yang diangkat sebagai khalifah dengan kesepakatan manusia dan keridhoannya maka dia adalah Amirul Mu‘minin, tidak halal bagi siapapun untuk bermalam walaupun satu malam sedangkan dia meyakini bahwasanya tidak ada Imam atasnya, Imam yang baik maupun yang jahat”. (Baca : Syarhus Sunnah hal. 77)

Apakah tetap wajib taat dan mendengar walaupun tidak dibai’at ?

Kata Syaikhul Islam : “Apa yang Allah perintahkan dan Rasul-Nya dari ketaatan kepada Wulatul Umur (penguasa) dan menasehati mereka adalah wajib atas seluruh manusia walaupun mereka tidak mengadakan perjanjian (bai’at,–pent.) sebagai penguat dan penetapan dari apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari ketaatan kepada Wulatul Umur (penguasa) dan menasehati mereka, maka yang bersumpah atas perkara-perkara tersebut tidak halal baginya untuk melakukan apa yang dia telah bersumpah atasnya, apakah bersumpah dengan Allah atau selainnya dan sumpah-sumpah yang kaum muslimin bersumpah dengannya. Maka sesungguhnya apa yang Allah wajibkan dari ketaatan kepada Wulatul Umur (penguasa) dan menasehati mereka adalah wajib walaupun tidak bersumpah atasnya. Bagaimana lagi jika dia bersumpah atasnya !?. Dan apa yang Allah dan Rasul-Nya larang dari maksiat kepada mereka (penguasa,–pent.) dan menipu mereka adalah haram walaupun tidak bersumpah atasnya.

Dan ini sebagaimana jika dia bersumpah untuk sholat lima waktu, puasa Ramadhan atau menetapkan yang haq yang wajib atasnya, bersaksi dengan haq, maka sesungguhnya ini adalah wajib atasnya walaupun dia tidak bersumpah, bagaimana lagi jika dia bersumpah atasnya !?. Dan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya larang darinya berupa kesyirikan, dusta, minum khamar, berbuat zhalim, dosa-dosa besar, mengkhianati Wulatul Umur (penguasa) dan keluar dari apa yang Allah perintahkan dengannya untuk taat kepada mereka adalah haram walaupun dia tidak bersumpah, bagaimana lagi jika dia bersumpah !?. (Lihat : Qo’idatun Mukhtashoroh fii Wujubi Tho’atillahi wa Rosulihi wa Wulatil Umur hal. 35-36)

Kaidah Kedua

Barang siapa yang menang, kemudian berkuasa maka dia adalah Imam yang wajib dibai’at dan tidak boleh ditentang dan didurhakai.

Dan kaidah ini menunjukkan sahnya secara darurat berbilangnya penguasa, setiap Imam menguasai dan memerintah di daerahnya masing-masing dan dianggap sama kedudukannya dengan Al-Imam Al-A’zhom, wajib mentaatinya, membai’atnya dan siapa yang tidak membedakan antara dua keadaan, ikhtiar dan darurat maka dia telah jahil secara ma’qul (akal sehat) dan manqul (nash-nash,–pent). Dan bahkan jahil terhadap kenyataan yang terjadi pada kaum muslimin. (Lihat : Al-Wardul Maqtuf hal. 124).

Dalam Shohih Al-Bukhary dari 'Abdullah bin Dinar, beliau berkata : “Takala manusia berkumpul membai’at Abdul Malik, saya menyaksikan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata : “Sesungguhnya saya menyatakan akan mendengar dan taat kepada hamba Allah, Abdul Malik Amirul Mu’minin berdasarkan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya sebatas kemampuanku, sesungguhnya anak-anakku juga demikian”.

Inilah perbuatan Ibnu Umar yag berbaiat kepada penguasa yang menang karena sebelumnya ada dua Khalifah yaitu Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair, tatkala Abdul Malik yang menang dan kekuasaan beralih kepadanya, maka beliaupun membaiat Abdul Malik. (Lihat : Fathul Bary 13/193).

Al-Baihaqy meriwayatkan dalam Manaqib Asy-Syafi’iy 1/448 : Dari Harmalah beliau berkata : “Saya mendengar Syafi’iy berkata : “Siapapun yang menang dalam merebut kekuasaan dengan pedang lalu disebut Khalifah, dan manusia bersepakat atas kepemimpinannya maka dia adalah Khalifah”.

Inilah prinsip yang disepakati para Imam dan para fuqaha`. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar : “Para ahli fiqih sepakat atas wajibnya mentaati penguasa yang menang ketika merebut kekuasaan dan wajib berjihad bersamanya. Dan sesungguhnya mentaati penguasa yang menang lebih baik dari pada memberontak kepadanya. Karena perbuatan ini akan mengakibatkan pertumpahan darah dan pengangkatan rakyat jelata menduduki jabatan”. (Lihat : Fahtul Bary 13/193).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Sunnahnya hanya satu Imam bagi seluruh kaum muslimin dan selainnya sebagai wakil-wakilnya. Jika diharuskan umat keluar dari yang demikian (lebih dari satu Imam,–pent.) karena maksiat dari sebagian umat dan kelemahan dari sebagiannya atau sebab lainnya, maka muncullah beberapa Imam bagi kaum muslimin, maka wajib bagi setiap Imam untuk menegakan hukum-hukum, menunaikan hak-hak, …”. (Lihat : Majmu Fatawa‘ 35/175-176).

Imam As-Syaukhany berkata : “Adapun setelah tersebarnya Islam, luasnya wilayah kekuasannya, saling berjauhan batas-batas wilayahnya maka dimaklumi bahwasannya pada setiap wilayah atau beberapa wilayah dipimpin oleh Imam atau Sulthon, demikian pula pada wilayah yang lain. Yang mana perintah dan larangannya tidak berlaku di suatu wilayah atau beberapa wilayah yang dikuasai oleh penguasa lain tersebut atau di beberapa wilayah yang bergabung dalam wilayah, maka tidak apa-apa dengan berbilangnya Imam-Imam atau Sulthon-Sulthon. Wajib ditaati setiap dari mereka sesudah dibai’at pada wilayahnya yang berlaku perintah atau larangannya, demikian pula penguasa yang lain di wilayahnya.

Jika ada yang menentang dalam wilayah kekuasannya dan telah dibaiat oleh penduduknya maka hukumannya dibunuh jika dia tidak bertobat. Dan dia tidak wajib bagi penduduk wilayah yang lainnya untuk taat padanya, tidak pula bergabung dalam wilayahnya karena jauhnya jarak antar wilayah. Karena itu kadang-kadang tidak sampai kepada wilayah yang jauh darinya khabar Imamnya atau Sulthannya. Dan tidak diketahui siapa memerintah di antara mereka atau sudah meninggal. Maka membebani mereka untuk taat dalam keadaan seperti ini berarti membebani dengan beban yang di luar batas kemampuan.

Dan ini dimaklumi bagi setiap yang mengamati dan memiliki wawasan terhadap keadaan negeri-negeri dan keadaan rakyat. Maka ketahuilah hal ini, kerena sesungguhnya itulah yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariat bersesuaian dari apa yang ditunjukan oleh dalil-dalil. Tinggalkan pendapat-pendapat yang menyelisihinya karena sesungguhnya perbedaan antara keadaan pemerintahan Islam pada awal munculnya Islam dan apa yang ada sekarang adalah lebih jelas perbedaannya daripada matahari di siang hari”. (Lihat : As-Sailul Jarrar 4/512).

Kata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab : “Para Imam telah sepakat dari setiap mazhab bahwasannya siapa yang menang atas satu negeri atau beberapa negeri maka dia berhak ditetapkan sebagai Imam pada segala urusan. Seandainya tidak ada ketetapan sepeti ini maka tidak akan tegak kehidupan dunia, karena sesungguhnya manusia sejak zaman dahulu sebelum Imam Ahmad sampai sekarang, tidaklah mereka sepakat atas satu Imam. Dan tidak dikenal seorangpun dari ulama yang menyebutkan bahwasanya ketetapan suatu hukum dari hukum-hukum syari’at tidak syah kecuali dengan Al-Imam Al-A’zhom”. (Lihat : Ad-Duror As-Sunniyah 7/239)

Kata Al-‘Allamah Ash-Shon’any ketika mensyarah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah :

مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةِ وَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ مِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada penguasa,–pent.) dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah kemudian dia mati maka matinya adalah mati jahiliyah”. (HR. Muslim)

Sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (keluar dari ketaatan) yaitu taat kepada khalifah yang disepakati atasnya, dan seakan-akan yang dimaksud adalah khalifah yang berkuasa pada setiap wilayah sebab manusia tidak bersepakat atas khalifah pada seluruh negeri-negeri Islam pada Daulah ‘Abasiyah, bahkan setiap penduduk wilayah berdiri sendiri menegakkan urusan-urusan mereka. Sebab jika (makna) hadits ini dibawa kepada khalifah yang kaum muslimin bersepakat atasnya maka sangat sedikit faidahnya.

Dan sabdanya (dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah) yaitu keluar dari jama’ah yang mereka sepakat atas Imam yang mengatur urusan-urusan mereka, dan sepakat atasnya kalimat mereka dan melindungi mereka dari musuh-musuhnya. (Lihat : Subulus Salam 3/499)


Kaidah Ketiga

Bolehnya mengangkat yang kurang afdhol walaupun ada yang lebih afdhol.

Bolehnya mengangkat yang kurang afdhol walaupun ada yang lebih afdhol karena takut munculnya fitnah dan tidak teraturnya urusan umat, yang demikian karena sesungguhnya Imam diangkat untuk menolak musuh, menjaga negara, mencegah segala kekurangan, menetapkan hak-hak, melaksanakan hukum-hukum, mengumpulkan harta ke baitul mal dan membagikannya kepada yang berhak, jika dikhawatirkan dengan diangkatnya yang lebih afdhol timbul kekacauan dan kerusakan dan urusan-urusan tersebut menjadi terbengkalai padahal itulah tujuan diangkatnya Imam maka itu adalah alasan yang paling nampak untuk mengalah dari yang afdhol kepada yang tidak afdhol. (Lihat : Jami’ Al-Ahkam Al-Fiqhiyah 4/416).

Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm setelah menukil kesepakatan Ahlus Sunnah tentang masalah ini beliau berkata : “Dan sungguh Abu Bakar pada hari Saqifah berkata : “Sungguh saya telah ridho bagi kalian salah seorang di antara dua orang ini, yakni Abu ‘Ubaidah dan ‘Umar”, sedangkan Abu Bakar lebih afdhol dari keduanya tanpa ada keraguan. Maka telah shohih dari apa yang kami sebutkan berupa kesepakatan seluruh shahabat tentang bolehnya keimamahan yang tidak afdhol.

Kemudian Umar menunjuk enam orang calon Khalifah dan pasti sebagian dari mereka lebih utama dari sebagian yang lain. Dan sungguh telah sepakat kaum muslimin pada waktu itu bahwasanya jika dibai’at salah seorang diantaranya maka dia adalah Imam yang wajib ditaati. Maka hal ini menunjukan realisasi mereka tentang bolehnya Imam yang tidak afdhol. Kemudian setelah Ali meninggal maka dibai’atlah Al-Hasan yang kemudian menyerahkan urusan kepada Mu’awiyah dan masih hidup sebagai sahabat yang lebih afdhol dari pada keduanya tanpa perselisihan, dari mereka yang berinfaq sebelum Al-Fath (Fathu Mekkah,–pent.) dan berperang.

Mereka semua -permulaan mereka sampai akhir mereka- membai’at Mu’awiyah dan mengakui keimamannya dan ini adalah ijma’ yang meyakinkan sesudah ijma’ tentang bolehnya Imam selainnya yang lebih afdhol darinya (Mu'awiyah,–pent.) dengan yakin tanpa ada keraguan sedikitpun”. (Lihat : Al-Fasl 5/5-6).

Bahkan Mu’awiyah mengakui yang demikian, dari Tsabit bekas budak Sufyan berkata : “Saya mendengar Mu'awiyah berkata : “Sesungguhnya saya bukan yang terbaik di antara kalian dan sungguh ada di antara kalian yang lebih baik dari saya seperti Ibnu 'Umar, 'Abdullah bin ‘Amr dan selain mereka. Akan tetapi saya berharap saya paling mampu mengalahkan musuh kalian, paling memakmurkan kalian dalam pemerintahan dan paling baik ahlaknya di antara kalian. (Lihat : Nuzhatul Fudhala` 1/242 dengan perantara Fiqus Siyatis Syar’iah hal. 164).

Kaidah Keempat

Jika syarat-syarat kepemimpian itu tidak terdapat pada pemimpin yang baru tetapi kekuasannya kokoh dan urusan negara tunduk ditangannya maka dia tetap wajib ditaati dan haram ditentang.

Imam Asy-Syathiby mengutip perkataan Ibnul ‘Araby bahwasanya Ibnu Khayyath berkata : “Sesungguhnya bai’at 'Abdullah bin 'Umar kepada Yazid adalah dibenci (terpaksa,–pent.), karena dimana (kedudukan/keutamaan) Yazid dibandingkan dengan Ibnu 'Umar ?. Namun, beliau menilai dengan agama dan ilmunya untuk tunduk kepada perintah Allah dan menghindarkan diri dari fitnah yang membawa kepada korban harta benda dan jiwa. Maka mencopot/menurunkan Yazid seandainyapun terwujud -bahwasanya urusan itu kembali kepada yang berhak- itupun akan membawa fitnah yang sangat besar, maka bagaimana lagi tidak diketahui ? (apakah kembali kepada yang berhak atau tidak).

Ini perkara yang sangat agung, oleh karena itu pahamilah, pegang teguhlah maka kalian akan terbimbing, insya Allah”. (Lihat : Al-I’tishom 2/627).

Al-Ghazali berkata : “Jika orang merebut kekuasaan tersebut memiliki kekurangan dalam wara’nya dan ilmunya karena kebodohannya dalam hukum, atau bahkan orang yang fasiq, padahal apabila diperhitungkan jika dia digulingkan akan menimbulkan fitnah (kekacauan) yang tidak dapat diatasi, maka kita harus menghukumi bahwa keimamannya itu sah. (Lihat : Ihya` Ulumiddin hal. ...).

Bahkan seandainya muncul tokoh Quraisy mujtahid yang terhimpun padanya perkara furu’ (cabang) yang mencukupi syari’at-syari’at kepemimpinan tetapi kalau digulingkan menimbulkan fitnah (kekacauan) dan ketidakstabilan diberbagai sisi kehidupan maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menggulingkannya atau menjauhinya bahkan tetap wajib untuk taat dan mengakui keimamannya. (Lihat : Al-I’tishom 2/625-627).


Kelima

Hak-Hak Penguasa

Islam memberikan hak-hak bagi penguasa yang wajib ditunaikan, ditetapkan dan dijaga oleh rakyat karena sesungguhnya maslahat umat dan masyarakat tidak akan sempurna dan tidak akan teratur kecuali dengan saling tolong menolong antara penguasa dan rakyat. Pemerintah menegakan kewajiban-kewajibannya, menunaikan tugas dan tanggung jawab demikian pula rakyat dan masyarakat. (Lihat : Al-Adilltusy Syariah hal. 24).

Di antara hak-hak penguasa adalah :

1. Ikhlas dan mendo’akan mereka.

Kewajiban pertama bagi rakyat kepada penguasa adalah ikhlas dalam mencintai mereka dan menginginkan kebaikan bagi mereka dan benci apa saja yang membuat mereka susah. Dan syari'at melambangkan hal tersebut dengan kalimat Nashihat, sebagaimana dalam hadits Tamim bin Aus Ad-Dary, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ , قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu adalah nashihat. Kami berkata : "Untuk siapa ?". Beliau berkata : untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk para Imam kaum muslimin serta orang-orang umum mereka”. (HR. Muslim).

Berkata Ibnu Rajab : “Adapun nasehat kepada Imam-Imam kaum muslimin adalah : Mencintai kesholehan, petunjuk, keadilan mereka, menginginkan agar umat berkumpul (bersatu) atas mereka, membenci perpecahan umat atas mereka, beragama dengan ketaatan kepada mereka dalam ketaatan kepada Allah, mencintai kemulian mereka pada ketaatan kepada Allah, menolong mereka di atas Al-Haq, mentaati mereka dalam Al-Haq, mengingatkan mereka, memperingatkan mereka dengan lembut dan halus dan menjauhi untuk menguasai mereka dan mendo’akan mereka agar mendapatkan taufiq”.
(Lihat : Jami’ Al-'Ulum Wal Hikam hal. 79).

Mereka (penguasa,–pent.) tatkala kedudukan tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban mereka lebih besar dari selain mereka, maka wajib memberi nasehat kepada mereka sesuai dengan kedudukan dan martabatnya, diantaranya : Meyakini keimamahan mereka, mengakui kekuasaannya, wajib taat kepadanya dengan ma’ruf tidak keluar (memberontak,–pent.) atas mereka, menganjurkan rakyat agar taat kepada mereka, memegang teguh perintah mereka yang tidak menyelisih perintah Allah dan Rasul–Nya, mengeluarkan segala kemampuan untuk menasehati mereka, menjelaskan apa yang samar atas mereka dari perkara-perkara yang mereka butuhkan dalam pemerintahannya. Setiap orang sesuai dengan keadaannya, mendo’akan mereka agar mendapatkan kebaikan dan taufiq, karena kebaikan mereka adalah kebaikan untuk rakyatnya. Menjauhi mencaci maki, merendahkan (menghinakan), menyebarkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah kejelekan dan kerusakan yang besar.

Dan siapa yang melihat dari mereka ada perkara yang tidak halal (pelanggaran) maka hendaklah dia mengingatkan dengan rahasia bukan dengan terang-terangan, lemah lembut, dengan kalimat-kalimat yang sesuai dengan keadaan sehingga tercapai maksud. Maka sungguh inilah yang dituntut pada hak setiap orang dan lebih khusus lagi penguasa. Karena sesungguhnya mengingatkan mereka dengan cara seperti ini, padanya ada kebaikan yang banyak dan itu adalah alamat kejujuran dan keikhlasan.

Dan berhati-hatilah wahai pemberi nasehat untuk penguasa dengan cara yang terpuji ini, untuk merusak nesehatmu dengan menginginkan pujian di sisi manusia, dengan kamu katakan : “Sungguh saya telah menasehati mereka, saya katakan ini, saya katakan itu”, karena ini adalah tanda riya` dan alamat lemahnya keikhlasan. (Baca : Ar-Riyad An-Nadhirah hal. 49-50).

Mendoakan penguasa mempunyai banyak faedah, diantaranya :

Pertama: Doa adalah ‘Ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah maka mendoakan penguasa adalah ‘Ibadah. Allah memerintahkan untuk mendengar dan taat kepada penguasa maka mendoakan mereka termasuk bagian dari mendengar dan taat. Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz : “Adapun mendo’akan kebaikan untuk penguasa maka itu termasuk taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) yang paling besar, dan termasuk seutama-utama ketaatan dan termasuk nasehat karena Allah dan hamba-hambanya”. (Baca : Al-Ma’lum Min Wajibil ‘Alaqah Baina Al-Hakim Wal Mahkum hal. 21).

Kedua: Mendoakan pengusa berarti telah menunaikan kewajiban dan tanggung jawab sebab berdoa termasuk nasehat dan nasehat adalah kewajiban atas setiap muslim. Berkata Imam Ahmad : “Sesungguhnya saya mendoakannya (penguasa,-pent.) supaya berlaku lurus dan mendapatkan taufiq, siang dan malam, serta mendukung mereka. Dan saya menganggap hal itu adalah wajib atasku”. Lihat As-Sunnah karya Al-Khallal 5/116.

Ketiga: Mendoakan penguasa adalah ciri dan karekteristik Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah yang membedakan mereka dengan Ahlul Bid‘ah. Berkata Imam Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahary : “Jika kamu melihat seseorang mendo’akan kejelekan atas penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pengekor hawa nafsu, jika kamu mendengar seseorang mendo’akan penguasa dengan kebaikan maka ketahuilah bahwa dia pengikut sunnah insya Allah”.

Keempat: Mendoakan penguasa manfaatnya yang paling besar akan kembali kepada rakyat.

Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyadh : “Seandainya saya mempunyai do’a (yang mustajab) maka tidaklah aku peruntukkan do’a tersebut kecuali untuk penguasa maka kami diperintahkan mendo’akan dengan kebaikan, dan tidak diperintahkan untuk mendo’akan (kejelekan) atas mereka walaupun mereka jahat dan zholim, karena kejahatan dan kezholimannya untuk diri mereka sedangkan kebaikan mereka untuk diri mereka dan kaum muslimin”. (Lihat : Syarhus Sunnah hal. 116). Kata Abu ‘Ustman Ash-Shabuny : “Ahlus Sunnah berkeyakinan untuk mendo’akan bagi mereka (penguasa,–pent.) dengan memperbaiki taufiq dan kebaikan, menyebarkan keadilan pada rakyat ……” (Lihat ‘Aqidah Salaf Ashabul Hadits hal. 106). Imam Al-Bukhary meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwasanya seorang perempuan bertanya kepada Abu Bakr : “Apa yang menyebabkan kita tetap dalam urusan yang baik sebagaimana yang Allah datangkan sesudah jahilyah”, beliau menjawab : “Tetapnya kalian selama penguasa juga istiqomah dengan kalian”. Berkata ‘Umar bin Al-Khaththob : “Ketahuilah bahwasanya manusia akan selalu dalam kebaikan selama penguasanya dan para penyeru kepada petunjuk tetap Istiqomah”. (Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy 8/163).
Baca risalah yang berjudul Ad-Du‘a` liwulatil Umur terbitan Kementrian Agama Saudi Arabia.


2. Mengagungkan dan memuliakan penguasa.

Tatkala syari’at memberikan kepada penguasa kedudukan yang tinggi, maka juga didapati manusia condong pada fitrahnya untuk mengagungkannya, memuliakannya dan berwibawa di matanya dan semacamnya, dan tidaklah keluar dari yang demikian kecuali orang yang tercemar fitrahnya. (Lihat : Mu’amalatul Hukkam hal. 48).

Berkata Imam Al-Qurafy dalam kitabnya “Adz-Dzakhiroh” : “Kaidah : Menjaga/memelihara maslahat umum adalah wajib, tidaklah bisa terjaga kecuali dengan mengagungkan Imam-Imam (penguasa) di hati-hati rakyat, dan kapan rakyat menyelisihi penguasa atau dihinakan maka maslahat tidak akan tercapai”. (Lihat : Mu’amalatul Hukkam hal. 44).

Dan semoga Allah meridhai Sahl bin Abdullah At-Tastury yang berkata : “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama dalam mengagungkan penguasa dan ulama, jika manusia mengagungkan keduanya (penguasa dan ulama,–pent.) maka Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka, tetapi jika mereka menghinakan keduanya maka mereka merusak dunia dan akhirat mereka. (Lihat : Tafsir Al-Qurthuby 5/260 dan Al-Hujjatu fii Bayanil Mahajjah 2/409).

Dan hal ini termasuk dalam hadits Abu Bakrah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيْ الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barang siapa yang memuliakan penguasa Allah Tabaraka wa Ta’ala di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari Kiamat dan barang siapa yang menghinakan penguasa maka Allah Tabaraka wa Ta’ala di dunia maka Allah akan menghinakannya pada hari Kiamat”. (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah 5/376).

Para pembesar shahabat sepakat melarang mencaci maki, menipu ataupun membenci penguasa. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ, قَالُوْا : لَا تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُّوْهُمْ وَلَا تُبْغِصُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوْا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيْبٌ

“Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang kami, mereka berkata : Jangan kalian mencaci para penguasa kalian, jangan menipu mereka, jangan membenci mereka, dan bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah sesungguhnya perkara adalah dekat”. (Hadits Hasan, riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 5/376)

Mencaci maki penguasa, menyibukkan diri dengannya dan menyebutkan aib mereka adalah kesalahan besar dan kejahatan yang keji. Syari’at yang suci ini melarang dari yang demikian dan merendahkan pelakunya. Caci makian kepada penguasa adalah titik tolak timbulnya pemberontakan. Dan ini merupakan pangkal kerusakan agama dan dunia sekaligus. Dan telah dimaklumi bahwa setiap wasilah mengandung hukum yang sama dengan tujuan-tujuannya. Maka setiap nash (dalil) yang mengharamkan pemberontakan kepada penguasa dan penghinaan terhadap pelakunya, juga merupakan dalil tentang haramnya caci makian terhadap penguasa sekaligus penghinaan terhadap pelakunya.

Larangan dari mereka (para shahabat) bukan sebagai pengagungan pribadi-pribadi penguasa, larangan ini tidak lain karena beratnya amanah yang dipikul oleh penguasa dalam menjalankan syari’at. Dan tanggung jawab itu tidak mungkin ditegakkan sesuai dengan yang diharapkan bila diiringi dengan caci makian dan umpatan. Sebab mencela mereka akan menyebabkan timbulnya ketidak taatan kepada mereka dalam perkara yang baik dan akan membakar kemarahan rakyat, dimana hal-hal semacam ini dapat membuka peluang ketidak stabilan (kurang kondusif) yang tidak mendatangkan bagi manusia kecuali kejelekan yang terus menerus. Dan juga munculnya celaan terhadap mereka akan berakhir dengan pemberontakan dan peperangan yang mana hal ini merupakan mala petaka yang besar dan musibah yang sangat dahsyat.

Ibnu ‘Abdil Barr telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Darda`, beliau berkata : “Sesungguhnya awal terjadinya kamunafikan pada diri seseorang adalah caci makiannya terhadap pemerintahnya”. (At-Tamhid 21/287)

Dan juga Ibnu Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Abu Darda`, beliau berkata : “Hati-hati kalian !, jangan kalian melaknat penguasa, karena sesungguhnya melaknat mereka adalah kemelut, dan kebencian terhadap mereka adalah kemandulan yang tidak akan mendatangkan buah apa-apa”. Ada yang bertanya : “Wahai Abu Darda`, lalu apa yang kami perbuat jika kami melihat apa yang kami tidak sukai benar ada pada mereka ?”. Beliau menjawab : “Sabarlah, sesungguhnya Allah bila melihat perkara itu ada pada mereka maka Dia akan mencegahnya dari kalian dengan kematiannya”. (As-Sunnah 2/488)

Oleh karena itu, Abu Ishaq As-Sabi‘iy berkata : “Tidak ada suatu kaumpun yang mencela pemerintahnya melainkan diharamkan bagi mereka untuk mendapatkan kebaikannya”. (At-Tamhid 21/287)

3. Mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, bukan maksiat.

Termasuk hak-hak penguasa adalah menyerahkan ketaatan dengan seluruh kemampuan kepadanya baik lahir maupun batin pada seluruh apa yang dia perintahkan atau yang dia larang darinya kecuali kalau itu adalah maksiat. (Lihat : Tahrirul Ahkam hal. 61)

Dan ini adalah termasuk hak penguasa yang paling besar atas rakyatnya dan kewajiban-kewajiban yang paling besar atas rakyat terhadap penguasanya. Demikian itu karena sesungguhnya ketatan termasuk asas yang paling mendasar dan penyangga yang paling kuat untuk teraturnya urusan-urusan negara dan masyarakat, merealisasikan tujuan-tujuannya dan maksud-maksudnya baik secara duniawi maupun ukhrawi. Karena sesungguhnya penguasa harus memerintah dan melarang, dan tidaklah tercapai maksud dari perintah dan larangan kecuali dengan mendengar dan taat dari rakyat. Sebagaimana perkataan ‘Umar bin Khoththob : “Tidak ada Islam tanpa Jama‘ah dan tidak ada Jama‘ah tanpa Amir dan tidak ada Amir tanpa ketaatan”. (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam 1/62). (Baca : Al-Adillatusy Syari’ah hal. 27)

Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 59)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk taat kepada-Nya, yaitu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan manjauhi larangan-larangan-Nya, taat kepada Rasul-Nya dan taat kepada Amir (penguasa). Dan penafsiran ini adalah pendapat jumhur ulama seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zaid dan lain-lain. (Lihat : Al-Muharrirul Wajiz 4/158)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Yang nampak –Wallahu A’lam- bahwasanya ayat itu adalah umum bagi setiap pemegang urusan dari para Amir (penguasa,–pent.) dan para ulama”. (Lihat : Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim 1/530).

Berkata Ibnu Taimiyah : “Ulil Amri dua jenis ; para ulama dan para Amir. (Majmu’ Al-Fatawa 28/170).

Ayat ini mewajibkan mendengar dan taat kepada penguasa secara mutlak, kemudian dikhususkan/dibatasi hanya pada perkara yang bukan maksiat sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits yang shohih, diantaranya :

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ, فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa,–pent.) pada perkara yang di sukai dan dia benci kecuali jika dia diperintah untuk berbuat maksiat. Jika dia diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan taat”. (HR. Bukhary – Muslim)

Berkata Imam Al-Qurthuby : “Yang dimaksud dengan ma‘ruf di sini adalah perkara-perkara yang bukan kemungkaran dan maksiat, maka masuk didalamnya ketaatan-ketaatan yang wajib dan sunnah dan perkara-perkara yang boleh (mutlak,–pent.) secara syariat, maka jika dia (penguasa,–pent.) memerintahkan yang boleh maka menjadilah ketaatan kepadanya wajib dan tidak halal (haram,–pent.) menyelisihinya”. (Al-Mufhim 4/41)

Syaikh Mubarakfuri berkata : “Dalam hadits ini terkandung tuntunan bahwa jika pemimpin itu memerintahkan amalan sunnah atau mubah maka wajib melaksanakannya”. (Lihat : Tuhfatul Ahwadzy 5/356)

Dan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : (tidak ada mendengar dan taat) artinya hanya dalam perbuatan maksiat semata, misalnya jika ia memerintahkan untuk berbuat riba atau membunuh tanpa alasan yang hak dan lain-lain, maka tidak boleh ditaati dan didengar. Dan jangan pahami bahwa jika penguasa memerintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak dengar secara mutlak pada setiap perintah-perintahnya, bahkan didengar dan ditaati secara mutlak kecuali dalam maksiat maka tidak didengar dan ditaati. (Lihat : Tahdzibur Riyasah wa Tartibus Siyasah oleh Al-Qol’iy hal. 113-114 dengan perantara Mu’amalatul Hukkam hal 117)

Wajib taat dan mendengar kepada penguasa dan pejabat-pejabatnya dalam segala keadaan, bukan dalam keadaan tertentu saja, dan terus menerus, dalam keadaan susah dan senang, ridho dan marah dan pada perkara yang dibenci oleh jiwa dan pada perkara yang berat dan sebagainya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Adapun ahli ilmu, tokoh agama dan orang-orang yang memiliki keutamaan, mereka tidak memberikan keringanan (toleransi,–pent.) kepada siapapun pada apa yang Allah larang berupa maksiat (mendurhakai,–pent.) penguasa, berkhianat dan memberontak kepada mereka dengan bentuk apapun, sebagaimana dikenal dari kebiasaan Ahlus Sunnah dan ulama baik dulu maupun sekarang dan juga sejarang orang-orang selain mereka”. (Lihat : Qo’idatun Mukhtashoroh hal. 38)

Dalam hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

عَلَيْكَ السَمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

“Wajib atas kamu untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit maupun mudah, bersemangat atau benci, walaupun ia sewenang-wenang terhadap kamu (dalam urusan dunia,–pent.)”.

Dan dalam hadits Anas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتَعْمَلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ

“Mendengarlah dan taatlah walaupun dijadikan penguasa atas kalian hamba Habasyi seakan-akan kepalanya adalah kismis (anggur kering)”.

Tetap wajib mendengar dan taat kepada penguasa dan pejabat-pejabatnya walaupun mereka menahan (tidak memberi) hak-hak rakyat

Karena sesungguhnya maksiat kepada pemerintah adalah haram karena haknya Allah. Dan juga syari’at tidak menjadikan ketaatan kepada penguasa balasan yang setimpal sesuai dengan perlakuan mereka kepada rakyat. Dan demikian juga syari’at tidak membatasi ketaatan kecuali pada yang ma’ruf dan dalam batas kemampuan. Dan ini adalah termasuk kesempurnaan hikmah dan kesempurnaan maslahat.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari ‘Alqomah bin Wa`il Al-Hadhramy dari bapaknya beliau berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju‘fy bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Wahai Nabi Allah, bagaimana pandangan anda bila penguasa meminta kepada kami haknya sementara mereka (penguasa,–pent.) menahan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”, lalu beliau berpaling darinya. Lalu orang itu bertanya lagi, beliau berpaling lagi. Orang itu bertanya untuk kedua kalinya atau ketiga kalinya, lalu Al-Asy’‘ats bin Qois menarik orang itu dan berkata :

اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Dengarlah dan taatlah, sesungguhnya kewajiban atas mereka adalah apa yang telah dibebankan atas mereka, dan kewajiban kalian adalah apa yang dibebankan kepada kalian”.

Maknanya : Allah Ta’ala membebani para pemimpin negara dan mewajibkan mereka untuk berbuat adil di antara manusia. Jika mereka tidak menunaikannya maka mereka berdosa. Dan Allah membebani rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika rakyat melaksanakannya maka mereka diberi pahala, jika tidak maka mereka berdosa. (Lihat : Mu’amalatul Hukkam hal. 119)

Tidak boleh bagi seseorang untuk berdusta kepada orang yang mendustainya, tidak berbuat keji kepada keluarga orang yang berbuat keji kepada keluarganya bahkan seandainya seseorang memaksa dia untuk berbuat liwath maka tidak boleh untuk memaksanya untuk berbuat demikian. Karena sesungguhnya ini adalah haram karena haknya Allah. Seandainya orang-orang Nashoro mencaci maki Nabi kita shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka tidak boleh kita membalas mencaci maki Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Orang-orang Syi’ah jika mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar maka tidak boleh kita membalas mengkafirkan ‘Ali. Dan demikian pula penguasa, jika mereka keji dan zholim serta menahan hak-hak kita maka tidak boleh kita membalas dengan meninggalkan mendengar dan taat kepada mereka. (Lihat : Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 65 dan Minhajus Sunnah 5/244)

Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu 'anhuma, beliau bertanya : “Wahai Rasulullah, dulu kami berada dalam kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan maka kamipun berada didalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Iya”, saya bertanya lagi : “Apakah di belakang kejelekan itu ada kebaikan ?”. Beliau menjawab : “Iya”. Saya bertanya lagi : “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan ?”. Beliau menjawab : “Iya”. Saya bertanya : “Bagaimana (bisa demikian –pent.) ?”. Beliau menjawab : “Sepeninggalku nanti para pemimpin tidak berpetunjuk dengan petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnah dengan sunnahku dan akan muncul pada mereka manusia-manusi yang hati-hati mereka adalah hati-hati syaithan dalam tubuh manusia”. Saya bertanya lagi : “Apa yang (harus) saya perbuat ya Rasulullah bila saya menjumpai keadaan seperti itu ?”,beliau menjawab :

تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Kamu mendengar dan taat kepada amir-amir (penguasa –pent.) walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taat”. (HR. Muslim)

Berkata Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah mengomentari hadits ini : “Hadits ini termasuk dari hadits-hadits yang paling gamblang (jelas dan tegas,–pent.) yang datang dalam bab ini (permasalahan taat kepada penguasa,–pent.). Karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mensifatkan para penguasa bahwa mereka tidak berpetunjuk dengan petunjuk beliau dan tidak mengikuti sunnah dengan sunnahnya. Inilah puncak kesesatan, kerusakan, penyimpangan dan penentangan. Mereka tidak mengambil petunjuk dengan petunjuk Nabi, tidak untuk diri mereka , tidak pula pada keluarganya dan rakyatnya. Meskipun demikian, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tetap memerintahkan untuk mentaati mereka dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah sebagaimana dibatasi dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan seandainyapun perkaranya sampai memukul kamu, mengambil harta kamu, janganlah hal itu mendorongmu untuk meninggalkan ketaatan kepada mereka dan tidak mendengar perintah-perintahnya, karena ini adalah kejahatan terhadap mereka (penguasa,–pent.). Kelak mereka (rakyat) akan dihisab dan dibalas pada Hari Kiamat.

Jika hawa nafsu menggiringmu untuk menyelisihi perkara yang hikmah dan syari’at yang lurus ini lalu kamu tidak mendengar dan taat kepada pemimpinmu maka sungguh dosa itu akan menimpamu dan kamu terjatuh ke dalam perkara yang terlarang.

Perkara kenabian ini adalah bagian dari kesempurnaan keadilan yang dibawa oleh Islam. Sesungguhnya jika ada orang yang dipukul lalu tidak mendengar dan taat, kemudian ada lagi orang yang dipukul lalu tidak mendengar dan taat maka hal ini akan menyebabkan hilangnya kebaikan agama dan dunia sekaligus dan segala urusan menjadi kacau. Lalu terjadilah kezholiman atas seluruh rakyat atau sebagian besar dari mereka. Dengan demikian lenyaplah keadilan dari negeri tersebut dan timbullah berbagai kerusakan dan akhirnya menimpa seluruh rakyat.

Sebaliknya bila orang yang dizholimi itu bersabar dan mengharap pahala (dari Allah,–pent.), meminta kepada Allah kelapangan, mendengar dan taat, maka akan tegaklah kemaslahatan dan tidak akan lenyap dan haknya tidak akan sia-sia di sisi Allah, bahkan kadang-kadang (Allah) menggantikan dengan yang lebih baik atau menyiapkan pahala untuknya di Hari Kemudian.

Ini termasuk kebaikan syari’at Islam, karena syari’at tidak mengatur (wajibnya) mendengar dan taat hanya pada penguasa-penguasa yang adil saja. Dan seandainya perkara itu harus demikian maka dunia ini semuanya akan rusak dan kacau. Maka Maha Suci hanya untuk Allah atas kelembutan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya. (Lihat : Mu’amalatul Hukkam hal. 120)

Hal ini dikuatkan oleh hadits ‘Auf bin Malik, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian, mereka mendo’akan kebaikan bagi kalian dan kalian mendo’akan kebaikan bagi mereka. Dan sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian”. Lalu dikatakan : “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang ?”, beliau menjawab :

لَا, مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ. وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ, فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعْ يَدَكَ مِنْ طَاعَةٍ

“Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari penguasa kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya (saja) dan janganlah kalian melepaskan tangan dari ketaatan”. (HR. Muslim)


Keenam

Wajibnya Bersabar Terhadap Kezholiman Penguasa

Sabar terhadap kejahatan dan kezholiman penguasa adalah salah satu pokok dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah. (Lihat : Al-Fatawa 28/179)

Ini termasuk keindahan syari’at yang agung ini dan termasuk hikmah yang sangat dalam, sebab sabar atas kejahatan dan kezholiman penguasa merupakan kewajiban yang syar’i, juga akan mendatangkan kebaikan dan mencegah atau mengurangi kerusakan sehingga menjadi kabaikan pula bagi rakyat dan negara.

Berkata Al-Hasan : “Demi Allah, seandainya manusia sabar ketika diuji dengan (kezholiman) penguasa mereka, tidak lama mereka menunggu maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat kezholiman itu dari mereka. Akan tetapi ketika mereka berlindung dengan pedang, maka mereka diwakilkan kepada pedang tersebut. Kemudian beliau membaca ayat :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرائيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ

“Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.”.(QS. Al-A’raf : 127)”.

Dan beliau juga berkata : “Ketahuilah –semoga Allah menganugerahkan keselamatan kepadamu- bahwa kejahatan penguasa adalah kemurkaan dari kemurkaan-kemurkaan Allah Ta’ala, sedangkan kemurkaan Allah tidak bisa dihadapi dengan pedang-pedang. Kemurkaan itu hanya bisa dihindari dan dicegah dengan do’a, taubat, kembali (kepada Allah) dan meninggalkan dosa-dosa. Sesungguhnya kemurkaan Allah, kapan suatu kaum menghadapinya dengan pedang justru dia akan lebih tajam. Malik bin Dinar telah menceritakan kepadaku bahwa Al-Hajjaj berkata : Ketahuilah, bahwasanya setiap kalian berbuat dosa, Allah juga akan timpakan balasan kepada para penguasa kalian”. (Lihat : As-Syari’ah 1/373-374)

Berkata Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy : “Adapun keharusan untuk taat pada mereka (penguasa) walaupun mereka jahat karena keluar dari ketaatan akan mengakibatkan timbulnya berbagai kerusakan yang berlipat-lipat ganda dari pada kejahatan mereka. Bahkan bersabar atas kejahatan mereka merupakan penghapus kesalahan-kesalahan dan melipat gandakan pahala, karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka menguasai kita kecuali rusaknya amalan-amalan kita. Sesungguhnya balasan sesuai dengan amalan maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh meminta ampun, bertaubat dan memperbaiki amalan.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”. (QS. Asy-Syura : 30)

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”. (QS. Ali ‘Imran : 165)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”. (QS. An-Nisa` : 79)

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.”. (QS. Al-An’am : 129)

Jika rakyat ingin bebas dari kezholiman penguasa maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman. (Baca : Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal 543).

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

))إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا)) قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ : ((تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ((

“Sesungguhnya sepeninggalanku akan terjadi Atsarah (para penguasa mementingkan diri mereka dengan urusan dunia dan tidak memberikan hak-hak rakyat). Dan banyak perkara yang kalian ingkari. Mereka (sahabat) bertanya : Ya Rasulullah apa yang engkau perintahkan pada kami! Beliau menjawab : Tunaikanlah hak (mereka) yang wajib atas kalian dan mintalah hak kalian pada Allah. (HR. Al-Bukhary dan Muslim).


Ketujuh


Ijma’ Ahlus Sunnah Tentang Haramnya Keluar (memberontak) Kepada Penguasa Yang Zholim.

Kesepakatan (Ijma’) ini telah dinukil oleh banyak Ulama di antaranya:

1.      Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dalam Thobaqot Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la 1/24.
2.      Imam Al-Bukhary sebagaimana dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah karya Al-Lalaka`iy 1/172.
3.      Imam Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy sebagaimana dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah 1/176.
4.      Imam Ibnu Battoh Al-‘Abkary dalam Asy-Syarhul Ibanah hal. 175 dan 276
5.      Imam Abu Mansur Ma’mar bin Ahmad Al-Ashbahany dalam Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 1/242
6.      Imam Abu Isma’il Ash-Shobuny dalam ‘Aqidah Ashhabul Hadits hal. 92-93
7.      Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim 12/229
8.      Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 13/7.
9.      Abu Hasan Al-Asyary dalam Risalah ilaa Ahli Ats-Tsaghr hal. 296,
dan lain-lain.


Kedelapan


Contoh-contoh Amaliyah Salafush Sholih

1.      Takala Ibnu Umar menunaikan ibadah haji bersama Hajjaj (Amirul Mukminin pada waktu itu), dan Hajjaj menikam kaki Ibnu Umar maka dikatakan pada Ibnu Umar : “Kami akan membai’at kamu untuk keluar (memberontak) atas Hajjaj dan menggulingkannya”, maka beliau sangat keras mengingkari (kemauan) mereka dan beliau berkata : “Saya tidak akan mencabut tangan dari ketaatan”. (Lihat : Fiqhusy Syari’ah hal. 182).
2.      Dari Zaid bin Wahab berkata : “Tatkala Utsman mengutus kepada Ibnu Mas’ud, beliau perintahkan untuk datang ke Madinah, manusia berkumpul padanya, mereka berkata : “Tinggallah dan janganlah keluar kami melarangmu keluar agar tidak sampai kepadamu sesuatu yang kamu benci”, beliau (Ibnu Mas’ud) berkata : “Sesungguhnya baginya (Utsman) atas saya ketaatan, dan sesungguhnya akan terjadi perkara-perkara (yang tidak diinginkan) dan fitnah-fitnah dan saya tidak senang menjadi orang yang pertama kali membukanya”. Beliau menolak (keinginan) manusia keluar (menemui) Utsman”. (Lihat : Nuzhatul Fudlala` 1/84).
3.      Dikatakan kepada Abu Wahab suatu malam : “Ikutlah bersama kami untuk berziarah kepada fulan”. Beliau berkata : “Dimana ilmu ?, penguasa wajib ditaati dan penguasa telah melarang keluar di waktu malam”. (Lihat : Nuzhatul Fudlala` 2/1140).
4.      Kasus terindah dan paling mulia dan paling gamblang adalah apa yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ahlus Sunnah takala beliau menjadi contoh dan teladan memperaktekan sunnah dalam bermu'amalah dengan penguasa. Di zaman beliau, pemerintahan ditegakan di atas salah satu mazhab yang jelek bahkan bid’ah yang menyesatkan yaitu perkataan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk, manusia dipaksa dengan ancaman pedang sehingga banyak darah ulama yang tertumpah karenanya dan dijadikan kurikulum untuk anak-anak ketika baru mulai belajar menulis (semacam TK) sehingga timbullah malapetaka dan bencana-bencana. Tetapi Imam Ahmad tidak disenjatakan oleh hawa nafsunya bahkan beliau tetap teguh di atas sunnah karena sunnah itu lebih baik dan lebih memberi petunjuk.

Imam Hanbal bin Ishaq berkata : “Datang sekelompok dari ahli fiqih Baghdad kepda Abu Abdillah (Imam Ahmad,–pent.) di antara mereka Bakr bin Abdillah, Ibrahim bin Ali, Fadhl bin ‘Ashim dan lain-lain mereka minta untuk masuk menemui beliau, maka saya mengizinkan mereka, lalu merekapun masuk. Mereka berkata : “Ya Abu Abdillah sesungguhnya perkara ini telah menyebar dan memuncak dan orang ini (Al-Watsiq Billah penguasa waktu itu,–pent.) berbuat ini dan itu, sesungguhnya telah nampak apa yang dia nampakkan dan kami takut dari padanya yang lebih dari ini”. Dan mereka menyebut bahwasanya Ibnu Abi Du’ad (salah seorang Qadhi pada waktu itu) telah memerintahkan para guru untuk mengajarkan kepada anak-anak dalam menulis bahwa Al-Qur`an itu begini dan begitu.

Imam Abu Abdillah berkata : “Apa yang kalian inginkan ?”.

Mereka menjawab : “Kami mendatangimu untuk bermusyawarah pada apa-apa yang kami inginkan”.

Imam Ahmad berkata : “Apa yang kalian inginkan ?”.

Mereka menjawab : “Kami tidak ridho dengan kepemimpinan dan kekuasannya (Al-Watsiq,–pent)”.

Maka Abu Abdillah memandang mereka sesaat kemudian berkata kepada mereka -dan saya hadir (Hanbal Bin Ishaq,–pent.)- : “Tidakkah kalian ketahui jika perkara ini tidak tetap bagi kalian bukankah kalian akan menjalani hal-hal yang di benci (tidak diinginkan) ?, wajib bagi kalian mengingkari dengan hati-hati kalian dan janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan, janganlah kalian memecah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian mengalirkan darah-darah kalian dan darah kaum mislimin bersama kalian. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan timbul dari apa yang kalian lakukan dan janganlah kalian tergesa-gesa, bersabarlah kalian sampai orang baik istrahat (tentram) dan diselamatkan dari orang fajir. Lalu beliau berkata : Hal ini (keluar dari ketaatan,–pent.) bukanlah suatu kebaikan bahkan ini adalah tidakan yang menyelisihi atsar (hadits)”.
(Lihat : Mihnatu Al-Imam Ahmad bin Hambal karya Hambal bin Ishaq hal 70-71 dan As-Sunnah oleh Al-Khallal 1/133-134).

5.      Dan inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beliau hidup di zaman dimana penguasa mempunyai kelemahan dan kekurangan yang sangat nyata bahkan beliau mendapatkan penganiayaan dari pihak penguasa.

Hal ini disebabkan karena beliau berdakwah terhadap tauhid dan sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat-sahabat dan membantah kelompok-kelompok sesat seperti orang-orang Sufi, Asy’ariyah, Mu’tazilah dan lain-lain bahkan beliau dipenjara berkali-kali karena sebab itu, bahkan beliau meninggal dalam penjara di Dimasyqus. Walaupun demikian beliau sangat keras memperingatkan untuk tidak keluar dari penguasa dan melepaskan tangan dari kekuasaannya. Beliau berkata dalam Minhajus-Sunnah 3/391 : “Oleh karena itu telah masyhur dari mazhab Ahlus Sunnah bahwasanya, mereka tidak melihat keluar dari Imam-Imam (Penguasa,–pent.) dan memerangi mereka dengan pedang walaupun pada mereka ada kezholiman-kezholiman sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shohih dan sangat banyak dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Karena sesungguhnya kerusakan dan fitnah dalam memerangi lebih besar daripada kerusakan dan fitnah yang ada dengan dzoliman mereka tanpa memerangi.


Kesembilan

Kerusakan-kerusakan Yang Timbul Akibat Keluar Dari Ketaatan

Sesungguhnya bagi yang memperhatikan sejarah Islam maka dia akan mendapati bahwasanya kerusakan-kerusakan yang timbul akibat keluar dari kataatan sangat besar dan akibat-akibatnya sangat berbahaya, bagaimanapun maksud dan tujuan dari yang keluar dari ketaatan tersebut.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Hampir-hampir tidak dikenal satu kelompokpun yang keluar dari kekuasaan penguasa kecuali keluarnya mereka dari kerusakan akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada yang dihilangkannya”. (Minhajus Sunnah 3/391)

Dan pada jilid 4/527, beliau berkata : “Dan sedikit yang keluar dari kekuasaan penguasa kecuali akan melahirkan dari perbuatannya kejelekan yang lebih besar daripada kebaikan yang ditimbulkan, seperti mereka yang keluar dari Yazid di Madinah, Ibnu As’asy yang keluar dari Abdul Malik di ‘Iraq, Ibnu Muhallab yang keluar dari anaknya di Khurasan, Abu Muslim yang mengajak mereka keluar di Khurasan, seperti orang-orang yang keluar dari Manshur di Madinah dan Bashrah dan orang-orang yang semacam mereka. Dan cukuplah dalam menggambarkan kerusakan-kerusakan dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari keluarnya dari ketaatan baik pribadi maupun masyarakat, hadits yang ringkas dan shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu hadits An-Nu’man bin Basyir, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Al-Jama’ah (persatuan) adalah rahmat dan bercerai berai adalah adzab”. (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim)

Dalam lafadz yang lain :

الْجَمَاعَةُ بَرَكَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Al-Jama’ah (persatuan) adalah berkah dan bercerai berai adalah adzab”.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata :

وَمَا تَكْرَهُوْنَ فِي الْجَمَاعَةِ خَيْرٌ مِمَّا تُحِبُّوْنَ فِي الْفُرْقَةِ

“Dan apa yang kalian benci pada Al-Jama’ah lebih baik daripada apa-apa yang kalian senangi dalam Al-Furqoh”. (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 7/75-76, Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah 1/298-299 dan dishohihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/555).

Sesungguhnya menyelisihi Al-Jama’ah dan keluar dari ketaatan kepada penguasa akan melahirkan kerusakan-kerusakan, diantaranya :

-          Hilangnya rasa aman yang berubah menjadi ketakutan.
-          Perampasan harta benda.
-          Terputusnya jalan.
-          Penyebab dari berkuasanya orang-orang bodoh.
-          Tersebarnya kebodohan dan meninggikan derajat orang-orang yang bodoh.
-          Berkurangnya ilmu dan asingnya orang-orang yang berilmu.
-          Melemahnya iman
-          Dan semua jenis kerusakan dan kerusakan-kerusakan di bumi

وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS. Al-Ma`idah : 64)

Dan dikeluarkan oleh Imam Al-Khollal dalam As-Sunnah 1/132 dengan sanad yang shohih dari Abul Harits Ash-Sho`igh beliau berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad,–pent.) tentang perkara yang terjadi di Baghdad dan sekelompok kaum yang ingin keluar dari ketaatan, maka saya berkata : “Ya Abu Abdillah, apa yang engkau katakan untuk keluar bersama mereka ?”, maka beliau mengingkari atas mereka, beliau berkata : “Subhannallah !, darah darah !, saya tidak mnyetujui yang demikian dan tidak memerintahkan dengannya. Bersabar atas apa yang ada pada kita sekarang lebih baik daripada fitnah, dialirkan didalamnya darah, dihalalkan padanya harta benda dan dilanggar didalamnya kehormatan-kehormatan. Tidakkah kamu tahu apa yang dialami manusia padanya yaitu pada waktu-waktu fitnah ?”, saya berkata : “Manusia sekarang, bukankah mereka dalam fitnah wahai Abu Abdillah ?”, beliau menjawab : “Walaupun demikian, sesungguhnya fitnahnya adalah fitnah yang khusus. Jika telah diangkat pedang, maka fitnah akan menjadi umum dan terputuslah jalan-jalan. Bersabarlah di atas hal ini dan selamatnya agamamu lebih baik bagi kamu”.




Kesepuluh


Beberapa Syubhat Dan Jawabannya

Orang-orang yang tidak menjadikan nash Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar salaf sebagai acuan karena tidak bernilai di dalam hati mereka, sebaliknya mereka akan menjadikan acuan dan rujukan pemikiran-pemikiran yang kebanyakannya diserap dari luar Islam hasil ijtihad mereka akan melemparkan banyak syubhat, diantaranya :


Syubhat Pertama

Keluar dari ketaatan terhadap penguasa (memberontak) hanyalah kalau mengangkat senjata.

Jawaban:

Fadhilatusy Syaikh Doktor Sholeh As-Sadlan ditanya : “Saya melihat Syaikh tidak membatasi keluar (dari ketaatan,–pent.) hanya dengan senjata bahkan Syaikh menganggap bahwa keluar kadang dengan lisan …?”.

Beliau menjawab : “Ini adalah pertanyaan yang penting. Sebagian dari ikhwah kadang melakukan hal ini dengan niat yang baik dengan keyakinan bahwa keluar hanyalah dengan (mengangkat) senjata saja. Namun sebanarnya, keluar (dari ketaatan) tidaklah terbatas hanya dengan kekuatan senjata atau menentang dengan cara-cara yang sudah terkenal saja, bahkan sesungguhnya keluar dengan kalimat lebih parah daripada keluar dengan senjata. Karena sesungguhnya keluar dengan senjata dan anarkhis tidak akan terjadi kecuali dengan kalimat, maka kami katakana kepada ikhwah yang dikuasai oleh semangat dan kami menyangka di antara mereka ada kesholihan -insya Allah-, wajib bagi mereka untuk pelan-pelan, dan kami katakan kepada mereka, pelan-pelan karena sikap keras dan anarkhis akan melahirkan sesuatu dalam hati, mendidik hati yang lunak tidak mengenal kecuali melawan dan juga membuka jalan di hadapan orang-orang yang punya tujuan tertentu untuk berbicara dan mengungkapkan apa yang ada dalam hati-hati mereka, kadang-kadang benar dan kadang-kadang batil. Maka tidak ada keraguan bahwa memberontak dengan lisan dan menyebarkan tulisan dengan berbagai macam cara atau menyebarkan kaset-kaset atau ceramah-ceramah atau seruan-seruan yang membangkitkan manusia yang tidak sesuai dengan syari’at, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar pemberontakan dengan senjata. Maka saya peringatkan dari hal itu dengan peringatan yang keras, dan saya katakan kepada mereka, kalian harus melihat/memperhatikan akibat-akibat yang akan terjadi dan melihat kepada orang-orang yang telah mendahului kalian dalam masalah ini. Dan agar mereka melihat kepada fitnah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Islam apa sebabnya dan apa jalan yang menyebabkan mereka mengalami keadaan sepeerti itu. Dan apabila kita sudah mengetahui hal itu maka kita akan mengerti bahwa memberontak dengan lisan dan sibuk dengan sarana-sarana komunikasi dan transportasi untuk membuat manusia lari, memanas-manasi, anarkhis atau kekerasan akan menimbulkan fitnah dalam hati”. (Lihat : ‘Ulama’us Su’udiyah Yu`akkiduna ‘alal Jama’ah hal. 5-6)

Maka kesimpulannya bahwa memberontak dengan lisan lebih berbahaya daripada dengan senjata, sebagaimana dalam riwayat dari Usamah bin Zaid, dikatakan kepada beliau : “Tidakkah kamu masuk kepada ‘Utsman dan berbicara kepadanya ?”, maka beliau menjawab : “Apakah kalian berpendapat bahwa nanti dikatakan bahwa saya berbicara dengannya kalau kalian dengar ?!, demi Allah, sungguh saya telah berbicara –antara saya dengan di saja- dan saya tidak akan membuka suatu perkara yang saya tidak suka menjadi orang yang pertama kali membukanya”.

Berkata Al-Qodhy ‘Iyadh : “Maksud Usamah adalah bahwa dia tidak akan membuka pintu secara terang-terangan untuk mengingkari Imam, sebab ditakutkan dari akibatnya (yang jelek,–pent.) bahkan beliau lemah lembut dan menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi karena yang demikian itu lebih mudah untuk diterima”. (Lihat : Fathul Bary 13/52)

Berkata Syaikh Al-Albany : “Yang dimaksud adalah mengingkari Imam secara terang-terangan di khalayak ramai, karena dari pengingkaran secara terang-terangan ditakutkan akibatnya (yang jelek), sebagaimana yang telah terjadi pada pengingkaran terhadap Utsman yang terang-terangan menyebabkan terbunuhnya beliau”. (Lihat : Mukhtashor Shohih Muslim hal. 335)

Ini adalah contoh dan kenyataan yang terjadi dari beribu-ribu kisah dan kenyataan yang tercatat dan terpelihara dalam sejarah sebagai pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat khususnya bagi orang-orang yang demam politik praktis dan semangat yang membabi buta dalam mengingkari penguasa.

Salah seorang Amir Andalusia yang bernama Al-Hakam bin Hisyam bin Ad-Dakhil termasuk raja yang sangat sombong, fasik dan kejam. Tetapi banyak ulama yang berada dalam negaranya, sampai-sampai dikatakan bahwasanya ada 4000 ulama di Cordova (Ibu Kotanya,–pent.). Maka mulailah mereka merasa susah atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Al-Hakam bin Hisyam, lalu mereka membangkitkan/memanas-manasi manusia atas amirnya dan berusaha untuk melepaskan diri darinya. Mereka menyangka bahwa tidak halal lagi untuk bersabar atas kelakuan-kelakuannya yang jelek dan tercela. Mereka lalu bermusyawarah untuk menurunkannya dari kekuasaan, dan mereka mempercayakan urusannya kepada salah seorang ahli syuro di Cordova karena kesholihannya, akalnya dan agamanya. Maka merekapun memberitahu kepadanya semua perkara dan mulailah dia memperlihatkan sikap condong kepada mereka. Maka iapun mengundang mereka kemudian ia memberitahu Al-Hakam tentang keadaan mereka, maka Al-Hakampun mengutus kepada mereka sebagian mata-matanya yang kemudian duduk di belakang tirai dan penulis mereka menulis apa saja yang dikatakan oleh mereka tentang Al-Hakam. Maka salah seorang dari mereka mengulurkan tangannya ke belakang tirai dan iapun melihat mata-mata itu. Iapun berdiri dan merekapun berdiri dan mereka berkata : “Kamu telah melakukannya wahai musuh Allah”. Maka siapa yang lari pada waktu itu maka dia yang selamat dan siapa yang tidak maka ditangkap, sekitar 77 orang dipenggal leher-leher mereka dan disalib. Mulailah Al-Hakam mengumpulkan dan menyiapkan tentara-tentaranya dan manusiapun menjadi berani dan marah sehingga terjadilah peperangan di Ar-Robd yang mana pada peperangan itu, Al-Hakam membunuh kurang lebih 40000 rakyatnya yang tidak berdosa yang mana mereka berlebih-lebihan dalam merendahkan Al-Hakam, sampai-sampai mereka pernah memanggil Al-Hakam dengan suara yang keras dari tempat ibadah mereka di malam hari “Sholat, sholat, wahai orang yang mabuk”. (Lihat Siyar a’lamin Nubala` 8/255-257)


Syubhat Kedua

Keluar dari ketaatan penguasa dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Jawaban:

Al-Imam Ibnu Qoyyim berkata : “Jika mengingkari kemungkaran mengharuskan timbulnya yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh mengingkarinya walaupun Allah membenci kemungkaran itu dan murka terhadap pelakunya seperti mengingkari para raja dan penguasa dengan keluar dari mereka, karena sesungguhnya hal itu azab segala kejelekan dan fitnah sampai akhir zaman.

Dan para shahabat telah minta izin kepda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk memerangi penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Mereka berkata : “Apakah kami memerangi meraka ? beliau menjawab : Tidak, selama mereka menegakkan shalat dan beliau bersabda : Siapa yang melihat dari amirnya suatu yang dia benci maka hendaklah ia bersabar dan janganlah ia mencabut tangan dari ketaatan padanya. Dan siapa yang memperhatikan apa yang terjadi dalam agama Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil maka dia melihatnya dari ditelantarkannya azab ini dan tidak bersabar atas kemungkaran dan menuntut hilangnya kemungkaran tersebut maka melahirkan dari kemungkaran yang lebih besar”.

Dan perhatiakanlah terjadi yang dialami gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama murid-muridnya, Ibnu Qoyyim bercerita : “Saya mendengar Syeikhul Islam berkata : Saya dan sebagian shahabt-shahabatku pernah melewati suatu kaum dizaman tartar, diantara mereka ada yang sedang minum khamar, maka orang yang bersamaku mengingkari mereka, maka saya mengingkari apa yang dia lakukan dan saya katakan padanya : Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar karena menghalangi zikir kepada Allah, menghalangi sholat sementara mereka, khamar mencegahnya untuk membunuh jiwa dan menawan anak-anak dan mengambil harta benda maka tinggalkanlah mereka”. (Lihat : I’lamul Muwaqqia 3/6-8).


Syubhat Ketiga

Penguasa sekarang tidak sama dengan penguasa di zaman dahulu, penguasa dahulu memberlakukan syari’at Islam, adil dan menyayangi rakyatnya, adapun sekarang adalah sebaliknya.

Jawaban:

Telah terdahulu dalil-dalil yang mewajibkan untuk taat kepada penguasa baik yang adil maupun yang zholim, maka sebagai tambahan, kami nukilkan beberapa nukilan.

Berkata Imam Abul Walid Ath-Thurthusyi : “Jika kamu mengatakan bahwa sesungguhnya penguasa-penguasa sekarang tidak sama dengan penguasa-penguasa dahulu maka rakyat sekarang juga tidak sama dengan rakyat dahulu. Dan kamu tidak boleh mencela penguasamu jika kamu melihat peninggalan-peninggalan penguasa-penguasa dahulu lebih utama daripada kalau penguasamu mencela kamu jika melihat peninggalan-peninggalan rakyat yang dahulu. Maka jika penguasa zholim kepadamu maka wajib bagi kamu untuk bersabar dan mereka yang menanggung dosa.

Dan selalu saya mendengar manusia mengatakan : ‘Amal-amal kalian adalah pelayan-pelayan kalian’, ‘Sebagaimana keadaan kalian demikian pula (keadaan orang yang) dikuasakan atas kalian’, sampai saya mendapatkan makna ini di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala berfirman :

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (Q.S. Al-An‘am : 129)

Dan dikatakan : ‘Apa yang kalian ingkari dari zaman kalian maka sesungguhnya yang merusaknya atas kalian adalah amalan kalian’.”.

Berkata Abdul Malik bin Marwan : “Berlaku adillah kepada kami wahai segenap rakyatku, kalian menginginkan dari kami siroh (sejarah hidup) seperti siroh Abu Bakar dan Umar sementara kalian tidak berprilaku pada kami tidak pula pada diri-diri kalian dengan siroh Abu Bakar dan Umar”. (Lihat Sirajul Muluk 100-101 dengan perantara Fiqhu As-Siyasah Asy-Syar'iyyah)

Dan Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh telah menyingkap syubhat dan kerancuan ini dengan gamblang dan jelas sebagaimana dalam Ad-Duror As-Saniyyah 7/177-178, beliau berkata : “Orang-orang yang terfitnah itu (dengan syubhat seperti ini,–pent.) tidak tahu bahwa kebanyakan penguasa kaum muslimin semenjak zaman Yazid bin Mu’awiyah –kecuali ‘Umar bin ‘Abdil Aziz dan orang-orang yang dikehendaki Allah dari Bani Umayyah- mereka telah terjatuh dalam perbuatan lancang, kejadian-kejadian besar diantaranya pemberontakan dan kerusakan dalam wilayah kaum muslimin. Meskipun demikian, sejarah dan perjalanan hidup para Imam Ahli ilmu dan tokoh-toko besar bersama mereka (penguasa,–pent.) dikenal dan masyhur. Tidaklah mereka mencabut tangan dari ketaatan dari apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dengannya berupa syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban agama. Saya sebutkan sebagai contoh yaitu : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofy, kekuasaannya terkenal dengan kezholiman, penindasan, melampaui batas dalam menumpahkan darah, melanggar apa-apa yang diharamkan Allah dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh umat seperti Sa’id bin Jubair dan mengepung Ibnu Zubair yang telah berlindung di Masjidil Haram dan melanggar kehormatan dan membunuh Ibnu Zubair walaupun penduduk Makkah, tokoh-tokoh Madinah, Yaman dan kebanyakan tokoh-tokoh ‘Iraq telah memberikan ketaatan dan bai’at.

Dan Hajjaj merupakan pengganti dari Marwan kemudian dari anaknya Abdul Malik* , tidak ada seorangpun dari para khalifah yang mengamanatkan kekuasaan kepada Marwan bahkan Ahlul Halli wal ‘Aqd tidak pula membai’atnya. Meskipun demikian, tidak seorangpun dari ulama yang menolak untuk taat dan tunduk pada Marwan pada perkara-perkara yang boleh taat padanya berupa rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajibannya. Ibnu Umar dan orang-orang yang mendapati Hajjaj dari kalangan shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak melepaskan diri dan tidak pula menahan/menghalangi untuk taat padanya dalam hal-hal yang mengokohkan Islam dan menyempurnakan iman.

Demikian pula tokoh-tokoh yang hidup di zamannya dari kalangan tabi’in seperti : Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashry, Ibnu Sirin, Ibrahim At-Taimy dan ulama-ulama seperti mereka dari tokoh-tokoh umat. Hal ini terus berlangsung di antara ulama umat dari tokoh-tokoh dan Imam-Imamnya. Mereka tetap memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan-Nya bersama setiap penguasa yang sholih maupun yang jahat sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku ushuluddin dan aqidah.

Demikian pula halnya Bani Abbas, mereka menguasai negeri-negeri kaum muslimin secara paksa dengan kekuatan pedang dan tidak ada seorangpun dari kalangan ulama dan tokoh agama yang membantu mereka. Mereka membunuh sejumlah besar dari Bani Umayyah, para penguasa dan wakil-wakilnya, mereka membunuh Ibnu Hubairah Gubernur Iraq, membunuh Khalifah Marwan bahkan diceritakan bahwa para algojo mereka membunuh 80 orang Bani Umayyah dalam sehari, meletakkan permadani-permasdani di atas mayat-mayat mereka dan duduk diatasnya sambil berpesta pora, makan-makan dan minum-minum.

Meskipun demikian, sejarah para imam seperti : Al-Auza‘iy, Malik, Az-Zuhry, Al-Laits bin Sa’ad, ‘Atho` bin Abi Rabah dalam menyikapi penguasa (Bani Abbasiyah –pent.) tidaklah samar bagi yang mempunyai ilmu dan menelaah (kitab-kitab sejarah,-pent.) Kemudian generasi Ahli Ilmu yang kedua seperti : Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhory), Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’iy), Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih dan saudara-saudara mereka yang lain … terjadi di zaman mereka dari para penguasa bid’ah-bid’ah yang besar, pengingkaran sifat-sifat (Allah) dan mereka diajak untuk mengakuinya, diuji dengan hal tersebut bahkan sampai dibunuh, seperti Ahmad bin Nashr, walaupun demikian tidak ada seorangpun di antara mereka yang mencabut ketaatan dari penguasa dan tidak pula berpendapat bolehnya memberontak kepada mereka.

* Yang ma’ruf hanya pengganti Abdul Malik bin Marwan saja,-pent.

Sumber: Majalah An-Nashihah Vol. Rubrik Manhaj